Senin, 10 Juni 2013

BERDIRI MENANTANG HARI

Donga, Dang, Wo, Ayuk, Cik, Bucik, Pak Ngah, Pak wo, Ading sanak sekalian coba kita bayangkan daerah Bengkulu kebanggan kita ini mulai dari muko-muko sampai ujung kaur dengan luas cuma 1.978.870 Ha ( data dari Pemprov Bengkulu ), dengan luas Hutan 920.753 Ha yang terbagi kedalam Hutan Taman Nasional, Hutan Suaka Alam, Hutan Wisata, Hutan Taman Buru, Hutan Cagar Alam, Hutan Lindung, Hutan Produksi terbatas, Hutan Produksi tetap. sedangkan jumlah luas lahan yang dikuasai pemodal ( Perusahaan Pertambangan dan Perkebunan ) seluas 463.964 Ha, jumlah lahan untuk Pemukiman ( perkantoran, perumahan, industri-industri rumah tangga, pemukiman warga dsb. ) seluas 322.681 Ha dan sisanya adalah lahan yang dapat di akses masyarakat adalah seluas 141.283 Ha. jadi kalau kita bagi dengan jumlah penduduk Bengkulu yang kurang lebih berjumlah 1.713.393 jiwa maka per jiwa cuma mendapatkan 0,08 Ha, menurut data BPS Provinsi Bengkulu tertanggal 2 april 2013 menetapkan 333.638 jumlah rumah tangga petani di Provinsi bengkulu dengan analisis demikian maka kedepan nya konflik lahan dikhawatirkan akan meledak diProvinsi Bengkulu dengan melihat data dan Realitas dilapangan di atas. ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait pengelolahan lahan diprovinsi bengkulu ;
1. Otonomi daerah ( Pemerintah Daerah ), sebetulnya dengan adanya otonomi daerah sangat baik untuk memotong jalur birokrasi yang berbelit-belit dan sentralistik, yah semangat nya adalah dengan otonomi daerah maka pekerjaan-pekerjaan pemerintah dalam mensejahterakan rakyat nya dapat tercapai dengan maksimal, tapi terkadang hal inilah yang menjadi salah kaprah otonomi daerah dimaknai dengan mempemudah jalur korupsi dan manipulasi kekuasaan, terbukti diprovinsi Bengkulu saja begitu banyak data-data perusahaan ilegal ( tidak mempunyai izin ) sebagai contoh ekspos data dari kepala Dinas Pertambangan dan Energi ( Distamben ) kabupaten Bengkulu Utara Ramadanus, SE pada tanggal 6 Juni 2013 kepada media menyatakan ada 30 kuasa Pertambangan yang Ilegal dan tidak mempunyai izin dikabupaten Bengkulu utara, data ini kita ketahui baru dari satu kabupaten sedangkan provinsi Bengkulu memiliki 9 kabupaten dan 1 kota berarti indikasi pertambangan dan perkebunan ilegal sangat marak di Bengkulu belum lagi kasus pengrusakan, perambahan hutan lindung serta pencemaran Daerah Aliran Sungai ( DAS ) yang berdampak sistemik pada keberlangsungan hidup masyarakat luas terutama masyakat kelas menengah kebawah di provinsi Bengkulu. Pemerintah seharusnya berani bertindak tegas dengan menginventarisir data perusahaan yang beroperasi diProvinsi Bengkulu, mengaudit setiap perusahaan dan perkebunan, perketat izin dengan mengeluarkan Peraturan daerah ( PERDA ) yang melarang terbit nya izin baru dan benar-benar diawasi proses Amdal nya serta memperhatikan konsep tata ruang. yang terpenting juga adalah jangan ragu mencabut izin perusahaan dan perkebunan yang telah terbukti bermasalah. jikalau masih ada perusahaan yang ilegal dan terbukti merusak tidak segera ditindak berarti pemerintah nya ter indikasi bersepakat atau kongkalingkong dengan pemilik modal untuk mengeruk keuntungan secara pribadi.
2. Aparat Penegak Hukum, Hal yang menjadi lumrah ketika terjadi konflik ditengah masyarakat seolah-olah para penegak hukum berhadap-hadapan langsung dengan masyarakat yang berkonflik. hal inilah semesti nya tidak perlu terjadi karena secarah harfiah aparat penegak hukum adalah pengayom dan pelindung masyarakat setidaknya menjadi kelompok penengah dan silahkan jalankan mekanisme undang-undang yang berlaku. dengan lembaga yang tersentral di nasional sudah seharusnya semacam komisi kepolisian nasional ( KOMPOLNAS ) turun tangan ke setiap proses pengamanan konflik lahan yang dilakukan pihak kepolisian. tak jauh berbeda dengan lembaga penegak hukum yang lain semacam kejaksaan dan pengadilan yang seharus nya terus di pantau dan di audit oleh lembaga seperti Jaksa Muda Pengawasan ( JAMWAS) dan KY ( Komisi Yudisial ), PPATK RI atau bahkan KPK RI, semoga dengan semakin banyak melibatkan unsur pengawas dan monitoring akan membuat segan aparat untuk melakukan tindakan diskriminatif dan koruptif.
3. Masyarakat yang berkonflik, disini sebenarnya dituntut peran Pemda ( baik itu Eksekutif  dan terlebih legislatif ) serta masyarakat luas terutama pihak LSM, Aktivis Lingkunga dan NGO yang menjadi Alternatif pilihan masyarakat karena ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah yang hanya terkesan sekedar lipservice kepada rakyatnya. masyarakat butuh pencerdasan dan pencerahan terkait hak mereka sebagai warga negara dan termasuk hak mereka sebagai pemilik lahan yang sah ( baik dibuktikan dengan sertifikat maupun tanah ulayat ). tentunya menyedihkan ketika banyak warga yang ditangkap, digebuki dan dipenjara cuma karena ingin mempertahankan sepetak tanah yang satu-satu nya mereka miliki sedangkan pihak pemerintah terkesan diam (contoh ; beberapa kasus konflik lahan, warga bentrok dengan aparat di berbagai kabupaten diBengkulu ) bahkan ada bocah kecil yang meninggal dunia karena tercebur kekolam limbah perusahaan yang tak sesuai standar pembuangan limbah, sungguh riskan... terus kemanakah para wakil mereka  ( DPR/DPRD/DPD dsb ) yang sebelum pemilu berdatangan dengan janji manis dan beberapa lembar uang rayuan untuk memilih mereka, toh ketika rakyat berkonflik kemanakah mereka?! tak tahu rimba suara nya kemungkinan sudah diredam dengan kenikmatan kursi empuk dan proyek-proyek besar.

Dentangan nada kecil pemberontakan ini dipersembahkan kepada seluruh putra-putri bangsa ini untuk sama-sama peduli mempertahankan Tanah Air tercinta dari proses kepunahan dan eksploitasi berlebihan!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar